Wacana pengembalian Pilkada melalui DPRD kembali mencuat. Presiden Prabowo Subianto menyatakan setuju jika kepala daerah kembali dipilih oleh DPRD, karena pilkada langsung terlalu banyak menghabiskan anggaran.
“Berapa puluh triliun habis dalam 1-2 hari, dari negara maupun dari tokoh-tokoh politik masing-masing,” kata Prabowo pada puncak HUT ke-60 Partai Golkar di Sentul International Convention Center (SICC), Bogor, Kamis (12/12/2024) malam.
Indonesia pertama kali menggelar pilkada langsung pada 2004. Sebelumnya kepala daerah dipilih melalui DPRD.
Apakah ini suatu kemunduran demokrasi ?
Berikut tanggapan berbagai pihak antara pro dan kontra Kepala daerah di pilih DPRD.
M.Ali dari Pusat Uni Demokrasi Indonesia (PUDI) mengatakan pemilihan Kepala Daerah dipilih oleh DPRD adalah suatu kemunduran Demokrasi, kedaulatan Rakyat dan Partisipasi masyarakat terbelenggu, akan tetapi terjadi Money Politik dan Transaksional antara DPRD dan Calon Kepala Daerah serta Partai Politik.
“Alasan anggaran negara menjadi besar,itu dikarenakan belum Profesional dalam pengelolaan keuangan negara dan Pemanfaatan tekhnologi serta SDM” ujar Ali.
P. Nugraha salah seorang Pemerhati Politik Sumsel mengatakan jikalau Kepala daerah dipilih lagi oleh DPRD sama halnya dengan state manque, berkutat pada kegagalan yang sama “enam tahun lalu sudah kita kaji dan dibuat naskahnya, ini diskursus enam tahun lalu, atas nama demokrasi maka apapun bentuk rule mode nya pemilihan melalui mekanisme DPRD harus ditolak ” ujar P. Nugraha.
“Intinya plus minus, tetapi lebih dari itu, kembalinya pada mekanisme lama dengan mengunakan mekanisme melalui DPRD itu sama dengan state manque” tegasnya.
Eka Subakti dari Partai PRIMA Sumsel mengatakan lebih setuju kepala daerah dipilih oleh DPRD, Karena mandat sudah diserahkan rakyat kepada partai saat Pileg. Sehingga proses politik Pileg akan sangat menentukan kepada kader partai mana yang benar benar teruji dan proses rakyat.Β Maka polaΒ ini menuntut partai politik merubah mindset berfikir dan bertindak selaras dengan kehendak anggota dan rakyat banyak dan untuk kepentingan yang lebih luas kepada bangsa dan negara. Partai politik sebagai instrumen demokrasi harus berfikir kepada tujuan kolektif bersama bangsa Indonesia.
“Bahwa panggung elektoral atau parlemen adalah medan perjuangan memenangkan gagasan untuk kebahagiaan rakyat” kata Eka Subakti.
Ketua Umum PB FRABAM Jeky Andesva menanggapi “Benahi dahulu partai politiknya, kalau partai politiknya sudah benar baru berbicara tentang pemilihan kepala daerah dipilih oleh DPRD atau oleh rakyat, kalau partainya sudah berbenah tinggal sistem pilegnya terbuka atau tertutup.
“Kalau terbuka maka tidak ada harapan kader yang miskin menjadi anggota DPRD kalau sistem tertutup ada harapan kader yang miskin menjadi anggota legislatif”ujarnya.
Sekjend Himpunan Keluarga Tamansiswa Indonesia (HIMPKA) Ki Edi Susilo mengatakan demokrasi ini sudah terbuka lebar meskipun demokrasi saat ini sangat ugal ugalan, tetapi seharusnya yang ditata bukan dikembalikan seperti dulu lagi lagi, tetapi yang harus dilakukan adalah mencoba merumuskan sistem yang lebih baik lagi.
“Buah perjuangan demokrasi pilihan rakyat langsung ini adalah buah panjang sari perjuangan reformasi 98, yang terpenting adalah bagaimanaΒ membingkai buah yang sudah baik ini bukan malah memundurkan kepada sistem masa lalu” ujar Edi Susilo.
Kenny S Balada dari Presidium Sumsel Barat mengatakan pemilihan kepala daerah secara langsung menyebabkan peran dan fungsi lembaga legislatif sepertinya lumpuh , tidak memiliki kontrol yang kuat terhadap kinerja kepala daerah.
“Dengan mengembalikan sistem kepala daerah dipilih oleh DPRD maka lembaga legislatif lebih kuat dan berwibawa dimata eksekutif” ujar Kenny. (Red)